Demonstran Filipina Soroti Peningkatan Jumlah Pembunuhan di Luar Hukum

 

Ratusan orang berbaris melakukan protes di ibu kota Filipina pada Sabtu (10/12/2022). Mereka menyoroti meningkatnya jumlah pembunuhan di luar hukum dan ketidakadilan lainnya di bawah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr.

Para pengunjuk rasa yang dipimpin oleh kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbasis di Filipina berkumpul di lapangan umum di Manila sebelum berbaris menuju istana presiden untuk menuntut keadilan bagi para korban. Polisi memperkirakan sekitar 800 pengunjuk rasa ikut serta dalam aksi yang bertepatan dengan Hari HAM Internasional.

Cristina Palabay dari kelompok hak asasi Karapatan mengatakan, kampanye kontra-pemberontakan pemerintahan Marcos telah terdokumentasi setidaknya 17 kasus pembunuhan di luar proses hukum. Jumlah tersebut di samping empat insiden kekerasan lainnya dengan para korban masih terselamatkan.

Palabay, menyatakan, jumlah tahanan politik terus meningkat, dengan 828 ditahan pada 30 November. Setidaknya 25 dari mereka ditangkap setelah Marcos menjabat pada Juni. “Terlepas dari angka-angka kotor ini, tidak ada keadilan bagi para korban pembunuhan di luar hukum. Budaya impunitas terus memunculkan kepalanya yang buruk,” ujarnya.

Penyelenggara aksi mengatakan, pengunjuk rasa di Manila dan bagian lain negara itu termasuk keluarga aktivis yang hilang atau disiksa selama pemerintahan ayah Marcos, diktator terguling Ferdinand Marcos. Peserta demonstran juga termasuk korban HAM di bawah mantan Presiden Rodrigo Duterte yang perang brutalnya terhadap narkoba sedang diselidiki oleh Pengadilan Kriminal Internasional setelah menyebabkan ribuan orang tewas.

Ayah Marcos digulingkan dalam pemberontakan “Kekuatan Rakyat” yang didukung tentara pada 1986 dan meninggal tiga tahun kemudian di pengasingan di Amerika Serikat tanpa mengakui kesalahan apa pun. Padahal dia, keluarganya, dan rekan lainnya mengumpulkan uang sekitar lima miliar hingga 10 miliar dolar AS saat berkuasa.

“Kami datang bersama sebagai keluarga korban dari berbagai rezim dan presiden… Kami telah memastikan bahwa setiap Hari HAM Internasional kami menyerukan keadilan, dan berkomitmen untuk tidak membiarkan pelanggaran yang sama terjadi pada orang lain,” kata ketua kelompok korban HAM Evangeline Hernandez.

Tercatat sudah ada 17 kasus pembunuhan di luar proses hukum di Filipina.

Pemerintahan saat ini juga dinilai telah meningkatkan penggunaan undang-undang anti-teror untuk menekan perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan berekspresi dan berserikat. Dewan HAM PBB telah mendesak pemerintahan Marcos untuk menangani pembunuhan dan pelanggaran hak lainnya.

Pemerintah mengatakan berkomitmen untuk melindungi HAM, mengutip reformasi dalam sistem peradilan negara. Menteri Kehakiman Filipina, Jesus Crispin Remulla, dalam pidatonya bulan lalu di Jenewa di depan Dewan HAM, menolak tuduhan bahwa ada budaya impunitas di Filipina. Dia mengatakan pemerintah tidak akan mentolerir pengingkaran keadilan atau pelanggaran hak.

Bertepatan dengan Hari HAM Internasional, jurnalis dan  salah satu pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 Maria Ressa meluncurkan memoarnya di Manila berjudul “How to Stand Up to a Dictator: The Fight for Our Future”. “Ini adalah saat ketika kami melihat hak-hak kami terkikis secara global, di mana Anda melihat pergeseran dari demokrasi ke fasisme dan inilah saatnya bagi kami untuk bertahan, jadi inilah yang kami lakukan hari ini,” katanya.

Salah satu pendiri situs berita lokal Rappler ini menghadapi serangkaian tuntutan pidana yang diajukan oleh pemerintahan Duterte dan sekutunya terkait dengan liputan tentang pembunuhan dalam perang melawan narkoba dan dugaan jaringan disinformasi yang disponsori pemerintah. Bukunya memperingatkan tentang otoritarianisme yang merayap di Filipina dan bagian lain dunia yang diduga dibantu dan didukung oleh perusahaan media sosial yang algoritme dan model bisnisnya memungkinkan platform mereka menyebarkan kebohongan.

“Bukan suatu kebetulan ketika kebohongan menyebar lebih cepat dari fakta, Anda melihat erosi demokrasi secara global. Sampai kita menyelesaikan masalah ini untuk menghentikan korupsi dalam sistem ekosistem informasi kita, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah apa pun. Nyatanya, demokrasi sedang dalam bahaya,” kata Ressa.

Sumber: Republika

Related posts

Indonesia dan Kabinet Ahli

Membangun Jaringan Internasional, Mahasiswa UMRI Buat Batik dengan Teknik Celup di Thailand

Perusahaan di Thailand Berlakukan Cuti Tinder, Beri Pegawai Waktu Khusus untuk Cari Jodoh