ASEAN Inklusif bagi Perempuan, Anak Muda, dan Penyandang Disabilitas

Pernahkan Anda diperlakukan tidak adil?

Pernahkan Anda merasa diabaikan?

Pernahkah Anda mengalami perlakuan yang semena-mena?

Namun, tidak ada yang peduli, bahkan sekadar mendengarkan Anda

Diskriminasi di tempat kerja dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Bentuknya bisa macam-macam, seperti perlakuan tidak adil terhadap karyawan atau pelamar kerja berdasarkan pada gender, ras, orientasi seksual, usia, tunadaksa–penulis lebih suka menyebutnya sebagai orang berkebutuhan khusus–, agama, dan latar belakang sosial.

Diskriminasi dapat terjadi dalam setiap aspek pekerjaan, mulai dari rekrutmen, promosi, penggajian, sampai fasilitas dan kondisi kerja. Diskriminasi di tempat kerja adalah masalah mengkhawatirkan yang memengaruhi banyak orang di dunia, termasuk ASEAN. Salah satu bentuk diskriminasi di tempat kerja yang paling umum terjadi adalah kesenjangan upah berdasarkan gender dan/atau ras (kewarganegaraan), atau juga perbedaan perlakuan dan fasilitas.

Diskriminasi di tempat kerja berdampak negatif pada lingkungan kerja. Diskriminasi dapat menurunkan tingkat kepuasan dan produktivitas, serta meningkatkan absensi dan frekuensi pergantian karyawan. Diskriminasi juga dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental.

Pada akhirnya, diskriminasi di tempat kerja akan menimbulkan dampak serius bagi perusahaan atau lembaga apa pun, termasuk organisasi internasional, institusi akademik, dan organisasi non-pemerintah (NGO), serta “perusahaan dan sejenisnya”.

Diskriminasi dapat mengakibatkan hilangnya talenta yang berdampak pada turunnya produktivitas dan output (profit). Perusahaan dan sejenisnya yang gagal mengatasi masalah diskriminasi mungkin harus berhadapan dengan tindakan hukum yang berujung pada penyelesaian berbiaya mahal serta dapat merusak reputasi perusahaan.

Kesenjangan upah berdasarkan gender dan diskriminasi merupakan masalah serius di banyak negara ASEAN. Perempuan sering kali digaji lebih rendah daripada laki-laki untuk melakukan pekerjaan yang sama. Kesenjangan upah berdasarkan gender di ASEAN berkisar antara 16% di Filipina hingga 34% di Kamboja. Kesenjangan upah ini sering kali disebabkan kombinasi banyak faktor, seperti stereotipe tentang gender, segregasi pekerjaan, dan akses yang tidak sama terhadap pendidikan dan pelatihan.

Di Indonesia, upah bulanan rata-rata untuk pekerja perempuan 25% lebih rendah daripada laki-laki (BPS, 2021). Dalam laporan tersebut juga ditemukan bahwa kaum perempuan cenderung bekerja di sektor berupah rendah, seperti pertanian dan sektor jasa yang membutuhkan tingkat keahlian relatif lebih rendah, sementara kaum pria lebih cenderung bekerja di sektor berupah tinggi, seperti keuangan dan pertambangan.

Selain itu, di Indonesia, hanya 25% dari pekerjaan manajerial dan level supervisi dengan gaji tinggi yang dipegang oleh wanita, bahkan di bidang-bidang ini wanita tetap dibayar lebih rendah dibandingkan pria (ILO, 2020).

Di Filipina, meskipun pemerintah setempat telah membuat kemajuan dalam mengurangi kesenjangan upah berdasarkan gender, masih terdapat perbedaan signifikan. Upah rata-rata pekerja perempuan di Filipina 22% lebih rendah daripada laki-laki, dan kaum perempuan kurang terwakili di sektor-sektor berupah tinggi, seperti keuangan dan teknologi (WEF, 2020).

Selain itu, pandemi Covid-19 juga berdampak lebih besar bagi perempuan yang kehilangan pekerjaan dan pengurangan jam kerja, tidak hanya di ASEAN, juga di seluruh dunia.

Faktor Mendasar
Setidaknya ada beberapa faktor mendasar yang memicu diskriminasi. Pertama, stereotipe atau anggapan umum tentang gender berperan penting dalam mempertahankan kesenjangan upah dan perbedaan perlakuan di ASEAN. Banyak pengusaha meyakini bahwa perempuan kurang kompeten atau kurang berkomitmen dibandingkan laki-laki. Akibatnya, perusahaan menawarkan upah lebih rendah kepada perempuan.

Stereotipe seperti ini sering kali diperkuat oleh norma sosial di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, sementara laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Kaum perempuan dianggap sebagai pencari nafkah sekunder, sehingga digaji lebih rendah dari rekan laki-lakinya.

Kedua, segregasi pekerjaan dan pendidikan adalah faktor berikutnya yang menimbulkan kesenjangan upah berdasarkan gender. Perempuan sering kali terkonsentrasi pada sektor-sektor berupah rendah dan secara umum didominasi perempuan, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan jasa sosial yang membutuhkan keahlian relatif rendah. Sektor-sektor ini cenderung menawarkan upah lebih rendah dibandingkan sektor-sektor yang didominasi laki-laki, seperti teknologi, teknik, dan keuangan.

Ketiga, akses yang tidak setara terhadap pendidikan dan pelatihan adalah faktor penting lainnya dalam kesenjangan upah antargender.

Perempuan sering kali memiliki akses yang terbatas untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dibandingkan laki-laki, sehingga membatasi peluang mereka untuk memperoleh keahlian dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan di sektor-sektor berupah tinggi. Ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan dan pelatihan ini sering kali diakibatkan oleh kendala budaya dan sosial di masyarakat yang membatasi ruang gerak dan peluang perempuan untuk maju.

Diskriminasi terhadap orang-orang dengan kebutuhan khusus dan pekerja muda juga merupakan masalah besar di sejumlah negara ASEAN. Orang dengan kebutuhan khusus sering menghadapi hambatan dalam mendapatkan pekerjaan dan dibayar lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak berkebutuhan khusus. Pekerja usia muda juga sering menghadapi diskriminasi di tempat kerja, termasuk dalam bentuk upah yang lebih rendah dan penolakan untuk mendapat peluang pengembangan keahlian.

Selain kesenjangan upah berdasarkan gender dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dan kaum muda, diskriminasi di tempat kerja juga bisa berbasis kebangsaan, ras, etnis, agama, orientasi seksual, dan latar belakang sosial. Seperti halnya di negara lain, diperlukan upaya bersama untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pendidikan, pekerjaan, dan norma sosial.

Pertama, di tempat kerja, perusahaan dan sejenisnya harus memiliki kebijakan, regulasi, dan prosedur yang jelas untuk mencegah diskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini harus dikomunikasikan dengan jelas dan diterapkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu bagi semua karyawan.

Proses rekrutmen dan promosi harus adil dan tidak berpihak, termasuk dengan membuat perincian tugas dan persyaratan yang didasarkan pada kebutuhan pekerjaan dan kualifikasi yang memang dibutuhkan, bukan melihat karakter personal, seperti usia dan jenis kelamin. Perusahaan harus memastikan bahwa semua kandidat dievaluasi secara adil dan konsisten, serta promosi didasarkan pada prestasi kerja, bukan penilaian pribadi.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat harus mencakup mekanisme pelaporan bagi karyawan yang mengalami diskriminasi dan perusahaan harus menanggapi semua laporan dengan serius dan segera melakukan investigasi.

Kedua, perusahaan dan sejenisnya harus menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh karyawan dengan kebutuhan khusus dan orang tua yang bekerja. Hal ini termasuk melakukan modifikasi fisik tempat kerja, seperti jalur khusus kursi roda atau toilet yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas, akomodasi yang dekat dengan kantor, bantuan teknologi bagi orang berkebutuhan khusus, dan fasilitas penitipan anak bagi orang tua yang bekerja.

Ketiga, perusahaan dan sejenisnya harus berupaya menciptakan budaya inklusi, yakni semua karyawan merasa dihargai dan dihormati. Upaya tersebut mencakup mempromosikan keberagaman dan inklusivitas di semua aspek tempat kerja, mulai dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi hingga acara dan kegiatan yang ditawarkan kepada karyawan.

Dengan menciptakan budaya inklusi, perusahaan dan institusi lainnya dapat membantu mengurangi peluang terjadinya diskriminasi di tempat kerja. Ini termasuk menerapkan undang-undang dan kebijakan anti-diskriminasi, memberikan akses yang setara untuk pendidikan dan pelatihan, menggaungkan keberagaman dan inklusivitas di tempat kerja, serta meningkatkan kesadaran akan dampak buruk dari diskriminasi.

Dan yang terpenting, pemerintah dan masyarakat sipil harus memastikan kesetaraaan kesempatan dalam pendidikan dan hak asasi manusia yang mendasar bagi seluruh rakyat. Diskriminasi di tempat kerja dan kesenjangan upah berdasarkan gender di ASEAN harus dituntaskan demi mencapai keadilan sosial dan kesetaraan kesempatan bagi seluruh pekerja.

Pemerintah, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja bersama untuk menghilangkan praktik dan kebijakan yang diskriminatif serta mempromosikan keberagaman serta inklusivitas di tempat kerja. Hanya dengan bekerja sama untuk menangani diskriminasi di tempat kerja dan kesenjangan upah, kita dapat meningkatkan keadilan sosial, dan pada akhirnya, mewujudkan ASEAN yang lebih setara, inklusif, dan sejahtera.

Sumber : Berita Satu

Related posts

Indonesia dan Maroko Diskusikan Sinergi Penerapan Fikih Mitigasi

Dirjen Lintas Agama Berbagi Praktik Baik Moderasi Beragama di ICROM 2024

Indonesia, Malaysia, dan Nigeria Teken MoU Kerja Sama Pengelolaan Wakaf