Bukan Korsel, Kasus Bullying Terbanyak Justru di Filipina dan Indonesia

 

Fenomena bullying di Korea Selatan memang bukan hal baru. Kisah-kisah perundungan di sekolah pun kerap muncul jadi latar cerita webtoon, film, hingga drama korea (drakor).

Serial The Glory di Netflix yang tengah hangat dibicarakan, misalnya, bercerita tentang balas dendam seorang korban bullying bernama Moon Dong-eun (diperankan oleh Song Hye-kyo). Adegan catokan panas, perundungan verbal, sampai dihajar satu geng di series tersebut terinspirasi dari kisah nyata. Kisah itu pun masuk dalam daftar tontonan Global Top Ten di Netflix.

Indonesia di Urutan Kelima

Meski begitu, Korea Selatan sebetulnya bukanlah negara dengan tingkat bullying tertinggi di dunia. Berdasarkan data Programme for International Students Assessment (PISA) 2018, Filipina justru menjadi negara dengan tingkat bullying tertinggi. Di negara itu, para pelajar yang mengaku pernah di-bully mencapai 64,9 persen.

Data itu merupakan data paling baru yang dirilis PISA terhadap 75 negara. Tingkat bully di Korea Selatan sendiri berada di posisi paling buncit dengan angka 9,4 persen.

Nah, Indonesia ada di peringkat kelima. Sebanyak 41,1 persen pelajar di Tanah Air mengaku pernah di-bully di sekolah. Persentase ini berada di atas rata-rata yang mencapai 23 persen.

Menurut catatan PISA, pelajar laki-laki dengan prestasi rendah cenderung menjadi korban bully.

Bullying di Korsel

Dikutip dari The Korea Herald, Kementerian Pendidikan Korsel pada tahun 2020 melaporkan 1 dari 3 korban di-bully karena ‘hanya bercanda’. Pada hasil survei yang dilakukan pada 130 ribu siswa Korsel itu, sebanyak 0,6 persen siswa di sekolah dasar dan menengah mengaku pernah merundung temannya.

Mayoritas mengaku merundung teman karena ‘cuma bercanda’. Alasan populer lainnya adalah ‘tidak ada alasan khusus’ atau ‘karena kelakuan korban dan mukanya aneh’.

Menurut laporan itu, perundungan di Negeri Ginseng ternyata paling banyak terjadi semasa sekolah dasar. Bentuk-bentuk bullying pun beragam. Responden mayoritas menjawab kekerasan verbal (39 persen).

Perundungan geng, seperti pada drakor The Glory, ternyata terbanyak kedua, yakni 19,5 persen. Sisanya melakukan perundungan berupa stalking (10,6 persen), cyberbullying (8,2 persen), serangan fisik (7,7 persen), dan kekerasan seksual (5,7 persen).

Temuan ini mengingatkan pada salah satu kasus perundungan siswa Korsel yang menyita perhatian publik pada September 2017. Menurut laporan Strait Times, kala itu viral sebuah foto gadis penuh darah sedang berlutut dalam unggahan Facebook. Pelakunya adalah lima orang siswi sekolah menengah di Busan.

Korban disiksa dengan kursi, pipa besi, botol soju, dan rokok selama 1 jam 40 menit hingga nyaris tewas. Alasannya, salah satu pelaku tak terima korban mengangkat telepon dari pacarnya.

Kasus pun bergulir di pengadilan. Sesuai undang-undang, para pelaku–yang masih di bawah umur–diadili di Pengadilan Remaja yang lebih fokus ke rehabilitasi ketimbang diberikan hukuman penjara.

Masyarakat Korea sampai membuat petisi Blue House yang ditandatangani oleh lebih dari 290 ribu orang. Isinya, mereka meminta hukum direvisi agar hukuman bagi pelaku remaja diperberat. Mereka juga mengecam remaja yang menyalahgunakan perlindungan hukum tersebut untuk melakukan kejahatan yang lebih brutal.

Pemerintah Korea awalnya dianggap tak serius menanggapi kasus ini, dikutip dari Korea Boo. Setelah ada gerakan publik, pengadilan memutuskan menghukum tiga pelaku utama.

Chung Jong Ho, Hakim Pengadilan Remaja yang dikenal tega memberikan hukuman bagi pelaku remaja, menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi 2 pelaku utama. Sementara seorang lainnya dihukum penjara untuk beberapa bulan. Sebagian masyarakat Korea menganggap keputusan ini terlalu lembek bagi pelaku.

Sebetulnya, hanya dua bulan sebelum kejadian Busan, yakni Juli 2017, pemerintah tengah menyiapkan program pencegahan kekerasan dan perundungan di sekolah di dalam kurikulum. Dikutip dari The Korea Herald, program ini dibuat sebagai usaha pemerintah menyelesaikan masalah. Terlebih, berbagai insiden bunuh diri karena bullying di sekolah tengah marak sejak 2011.

Program yang rencananya diimplementasikan pada siswa sekolah dasar sampai menengah itu disebut-sebut mengadopsi program anti perundungan dari Finlandia. Sekolah di Finlandia punya program bernama Kiva Koulu (KiVa) yang mencegah perundungan dengan cara memberikan pengaruh dalam grup. Materi yang diberikan pun bukan cuma melibatkan guru dan siswa saja, melainkan terdapat komunikasi aktif dari sekolah ke orang tua siswa.

Kementerian Pendidikan Korea kala itu berencana memberikan edukasi anti bullying lewat musik, permainan, dan aneka kegiatan berbasis seni. Tujuannya, agar siswa bisa lebih berkomunikasi dan berempati soal betapa seriusnya kekerasan di sekolah.

Sumber : Kumparan 

Related posts

Dirjen Lintas Agama Berbagi Praktik Baik Moderasi Beragama di ICROM 2024

Indonesia, Malaysia, dan Nigeria Teken MoU Kerja Sama Pengelolaan Wakaf

Sejarah Islam di Indonesia Hingga Jadi Negara dengan Jumlah Penduduk Muslim Terbesar