Denny Ja: Lebih Banyak Yang Setuju Pada Putusan MK Soal Usia Minimal Capres



Seminggu ini, tak ada yang lebih heboh dibandingkan putusan Mahkamah Konstitusi soal minimal usia untuk menjadi capres atau cawapres.

Di mana, aturan lama mengatakan mereka yang bisa menjadi capres atau cawapres minimal usianya 40 tahun. Setelah putusan MK, mereka yang belum berusia 40 tahun, sejauh pernah atau tengah menjadi kepala daerah, mereka pun bisa dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.

Ketika MK membuat putusan itu, sudah ada 22 kepala daerah yang usianya memang di bawah 40 tahun  di Indonesia. Dengan sendirinya, 22 kepala daerah ini potensial untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.

Satu di antara kepala daerah itu adalah Gibran Rakabuming Raka. Gibran pun akhirnya memang resmi menjadi bakal calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.

“Pro dan kontra pun terjadi. Setuju dan tak setuju pun meluas, di kalangan pakar hukum, civil society, politisi dan tentu saja para buzzer. Tapi sebenarnya secara persentase, bagaimanakah  opini publik mengenai putusan MK ini?” tanya pendiri LSI Denny Januar Ali, dalam keterangan resminya, Selasa (24/10).

Dia menyebutkan, survei LSI Denny JA, dikerjakan hanya beberapa hari saja setelah putusan MK itu, melalui quick survei, survei cepat, atau telesurvei. Ini survei yang menggunakan telepon dan handphone.

Hasilnya, ternyata publik yang mendengar putusan MK ini hanya 37% saja. Sedikitnya publik yang mendengar putusan MK menggambarkan wajah dari pemilih Indonesia.

Kaum terpelajar, yang tamat SMA,  D3, S1, S2, S3, itu totalnya hanya 10% saja. Sebanyak 60% pemilih hanya tamat SD dan hanya tamat SMP.

Juga sedikit saja dari pemilih Indonesia itu yang peduli pada politik. Jauh lebih banyak lagi mereka yang tak peduli pada politik.

“Tak heran jika dari total pemilih Indonesia yang mendengar putusan MK hanya 37% saja,” kata dia.

Dari segmen pemilih yang mendengar putusan MK, ternyata yang setuju dengan  putusan MK sebanyak 59,5%. Sedangkan yang tak setuju hanya 36,5%. 

Jika dilihat secara makro, dengan kanvas seluruh pemilih Indonesia yang mendengar putusan MK, lebih banyak yang setuju, dibandingkan yang tak setuju.

Apa alasannya yang tak setuju? Beragam alasannya. Dia pun mengungkap yang paling sering muncul. Mereka tak setuju karena  MK membuat norma baru. Menurut mereka, norma hukum itu wilayahnya DPR dan presiden. MK hanya berperan menolak saja norma itu (tak sesuai dengan konstitusi) atau membenarkan norma itu (sesuai konstitusi).

Menurut yang tak setuju, MK seharusnya bukan menambahkan norma baru, seperti “Yang pernah atau tengah menjadi kepala daerah, walaupun berusia di bawah 40 tahun, bisa mencalonkan dirinya sebagai presiden atau wakil presiden.

Alasan lain yang tak setuju, hadirnya conflict of interest. Yang disorot adalah hubungan keluarga ketua MK dengan Gibran yang diuntungkan oleh putusan MK.

Juga menjadi alasan: dugaan terlalu kuatnya nuansa intervensi politik.

Sebaliknya, yang setuju putusan MK mengatakan sisi positif putusan itu. Di mana, MK memberi kesempatan lebih besar kepada generasi muda yang usianya di bawah 40 tahun. Tentu itu sejauh yang bersangkutan pernah atau tengah menjadi kepala daerah.

Yang setuju putusan MK juga menyatakan bahwa pemimpin nasional di negara lain juga banyak yang berusia di bawah 40 tahun.

“Terlepas pro dan kontra, apalagi yang pro lebih banyak, putusan MK sudah keluar, final dan mengikat. Maka dalam demokrasi, kita terima putusan MK sebagai bagian dari prinsip demokrasi,” jelas dia.

Sumber : Alinea

Related posts

Din Syamsuddin: Rusia-Dunia Islam dapat menjadi kekuatan baru

Perkuat Solidaritas Dunia Islam, BAZNAS RI Dorong Pengaktifan Keanggotaan Indonesia di ISF