UOB Gelar Gateway to ASEAN Conference 2023, Ini yang Dibahas


United Overseas Bank (UOB) menggelar UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 dengan mengundang banyak pembicara untuk mendiskusikan isu-isu perbankan, dari pentingnya hilirisasi hingga pembangunan ekonomi digital. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi menyatakan pentingnya hilirisasi yang dapat memberikan manfaat dan nilai tambah pada sektor komoditas.
“Misalnya saat ini pemerintah tengah serius untuk membangun panel surya dan pasir silika. Ditambah lagi sudah ada perusahaan yang melakukan groundbreaking di Kendal dengan beberapa investor yang serius pada proyek ini. Di sisi lain, nikel juga sudah berjalan, aluminium sedang dalam proses, dan pasir silika,” ujar Yudo dalam keterangan tertulis, Rabu (25/10/2023).

Hal itu disampaikannya pada panel diskusi sesi pertama konferensi tahunan ini yang bertajuk ‘Adding Value to the Commodities Sector’ pada Rabu (11/10). Lebih lanjut, pemerintah sampai saat ini sangat serius untuk memiliki industri hilir dan telah menyiapkan berbagai strategi untuk membangunnya.

Sementara itu, General Manager Great Wall Motor Thailand, Michael Chong, mengungkapkan peluang atau potensi Indonesia menjadi pasar manufaktur. Hal ini didukung oleh jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dibanding negara lainnya.”Pasar Indonesia kami rasa sangat berpotensi. Oleh karena itu, pada Juni lalu, kami telah menandatangani kemitraan strategis dengan salah satu kelompok distributor terbesar. Di Indonesia, kami juga bukan hanya meluncurkan produk kami, namun juga tengah mengerjakan lokalisasi pasar,” jelasnya.

Soal hilirisasi, Chong mengaku dirinya sejauh ini masih mempelajari hal tersebut di Indonesia. Namun, ia memastikan faktor penting untuk bisa sukses dalam hilirisasi adalah dukungan kebijakan dari pemerintah.

Hal itu guna meningkatkan peluang investor masuk ke Indonesia, karena dalam berinvestasi ke sebuah negara, investor menginginkan kejelasan regulasi. Menurutnya, salah satu faktor yang penting adalah kebijakan, mengingat ini akan berlangsung dalam jangka panjang.

“Hal ini penting agar investor mengetahui seberapa besar akan berinvestasi dan produk apa yang akan diluncurkan di pasar,” tegasnya.Di sisi lain, Managing Director, Sector Solutions Group, Group Wholesale Banking UOB, Bonar Silalahi juga mengungkapkan pentingnya peran bank dalam mendukung pendanaan dan konektivitas dalam mendorong keberlanjutan. Salah satunya terkait penetrasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Bonar mengatakan UOB sudah menyiapkan solusi untuk memahami dinamika dan perubahan di tengah fokus dunia terhadap ekonomi berkelanjutan sejak tahun 2017. Pasalnya, terkait kapital, konektivitas atau hubungan baik antarnegara tidak bisa dipisahkan. Ia pun menilai ASEAN adalah bagian dari rantai pasok yang lebih besar.

“Kita harus bisa memahami bagaimana (sektor keberlanjutan) ini bisa terhubung dari China ke ASEAN atau di dalam ASEAN,” katanya.

Kemudian, Bonar memberikan contoh konkret saat UOB ikut membantu meningkatkan penetrasi EV di Thailand. Di negara tersebut, UOB telah menjadi satu bank regional telah banyak bekerja sama dengan dealer untuk memberikan pembiayaan kendaraan listrik.

Selanjutnya, ia menuturkan UOB Indonesia berkomitmen mengembangkan sustainable financing atau pendanaan berkelanjutan terintegrasi sebagai bagian inisiatif pembiayaan hijau bagi terciptanya ekonomi berkelanjutan. Melalui pembiayaan hijau ini, pelaku bisnis bisa mengajukan pembiayaan bagi produk yang ramah lingkungan atau terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

Pada diskusi panel kedua bertemakan ‘Unleashing the Digital Economy’, Bank Indonesia yang diwakili oleh Asisten Gubernur, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Dicky Kartikoyono membahas maraknya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia.

Dicky menerangkan Indonesia tergolong berhasil mendorong penggunaan QRIS di masyarakat dalam mendukung inklusi ekonomi dan keuangan digital serta konektivitas pembayaran antarnegara. Setelah dijalankan di Thailand dan Malaysia, QRIS uga akan mulai dapat digunakan di China, India, dan Jepang.

“Mereka telah melihat efektivitas penggunaan QRIS dalam transaksi regional,” imbuhnya.

Dicky menyatakan konektivitas ini akan menopang transaksi pariwisata, UMKM, dan lainnya. Hal ini menguntungkan baik pengguna maupun pedagang, khususnya segmen UMKM.

Ia mencatat jumlah transaksi QRIS sepanjang 2022 mencapai sebesar 1,03 miliar transaksi,atau tumbuh sebesar 86% (year on year). Untuk itu, BI berkomitmen untuk terus melakukan berbagai inovasi fitur QRIS, seperti QRIS Tarik Tunai, Transfer dan Setor Tunai (TUNTAS) yang akan segera diluncurkan, serta perluasan kerja sama QRIS, termasuk kerja sama perluasan interkoneksi pembayaran QR Code dengan negara mitra.

Sedangkan Direktur Channels and Strategic Partnerships Google Cloud South East Asia,Megawaty Khie menyatakan layanan cloud yang semakin berkembang pesat di Indonesia. Mengutip data IDC, pertumbuhannya bisa mencapai US$ 933 juta atau Rp 14,6 triliun tahun ini. Lalu, ia juga menyebut Indonesia adalah pasar terbesar Google Cloud di Asia Tenggara, melewati Singapura.

“Cloud tetap akan meningkat. Angkanya itu kalau untuk Indonesia dari IDC US$933 juta. Growth (setiap tahunnya) 20%-30%, tergantung situasi. Indonesia menyumbang lebih dari 50% bisnis kami di ASEAN. Jadi kalau dipahami, gabungan cloud market dari Singapura, Malaysia, dan Thailand masih lebih kecil dari cloud market Indonesia,” katanya.Oleh karena itu, Indonesia menjadi tempat yang tepat untuk investasi pusat data wilayah cloud. Dan tentunya, satu hal lagi jika bisa saya tambahkan, data selalu bertambah. Itu tidak akan pernah turun. Ia pun menyebutkan saat ini adalah waktu terbaik bagi investor yang ingin berinvestasi di Indonesia.

Pemicu perkembangan pesat penggunaan cloud Indonesia adalah ekonomi digital, sebab berdasarkan data dari Google, Temasek, dan Bain ‘Company, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sendiri tembus US$200 miliar pada tahun lalu.

Ada juga Megawaty Khie yang menyebutkan kepercayaan orang menggunakan cloud sudah cukup tinggi karena sudah banyak masyarakat yang malas membeli dan menggunakan hardware jadi akhirnya beralih ke cloud.

Akan tetapi, Megawaty Khie mencatat ada satu kendala untuk implementasi cloud di dalam negeri. Terkait izin yang diberikan dari pemerintah, misalnya, jika perbankan mau menggunakan cloud, harus mendapatkan izin dulu dari lembaga terkait.

“Pemerintah harus lebih mendukung. Izin masih terlalu panjang. Misalnya untuk dari perbankan, jika mau mencoba menggunakan cloud harus mendapatkan izin dari BI dan OJK. Namun, perizinannya cukup lama,” ujarnya.

Di lain pihak, President of Financial Technology GoTo Hans Patuwo menilai peluang pertumbuhan industri digital Indonesia masih sangat besar, termasuk di fintech.

Dia memaparkan bisnis GoTo berkontribusi secara langsung dan tidak langsung terhadap 1-2 persen produk domestik bruto Indonesia. Per 2022, GoTo didukung oleh 2,5 juta mitra pengemudi, 18 juta pedagang, dan 16 juta pengguna.

Indonesia memiliki pertumbuhan pesat dalam ruang digital. Namun, tidak seperti China, Indonesia masih punya jalan yang panjang untuk tumbuh.

“Jadi meskipun pertumbuhannya sangat besar, saya yakin masih banyak lagi yang bisa kita capai,” ucapnya.

Sementara itu, Managing Director dan Head, Telecom, Media, Technology, Sector Solutions Group UOB, Terence Koh, mengatakan, jika membicarakan tentang ekonomi digital, berarti juga berbicara tentang konektivitas data. sebagai bank, Terence Koh menuturkan bahwa UOB berkepentingan dalam ekosistem digital.

“Kami selalu mencari peluang untuk bermitra dengan hyperscaler dan benar-benar melihat proposisi win-win yang dapat kami lakukan sebagai kemitraan. Kami juga memiliki jaringan kami sendiri, memiliki kemampuan kami sendiri dalam hal layanan dan produk keuangan sehingga kami dapat memungkinkan para hyperscaler untuk memastikan bahwa mereka mengadopsi lingkungan dan layanan mereka serta jaringan mereka ke perusahaan hingga ke konsumen,” tegasnya.

Menurut Terence Koh, Indonesia sudah mulai membangun ekosistem digital. Adapun soal potensi Indonesia sangatlah besar, dan para hyperscaler yang masuk bukan hanya dari Barat dan China.

Terlebih di Indonesia juga terdapat banyak unicorn yang telah terbentuk dan mapan. Menurutnya, itu semua karena Indonesia merupakan pasar yang sangat dalam dan sangat besar.

Sedangkan posisi UOB sendiri menjadi sangat vital karena sebagai institusi perbankan dengan berbagai layanan keuangannya dapat mendukung sampai ke lapisan terakhir, atau perusahaan itu sendiri. Hal ini untuk memaksimalkan proses bisnis dan operasional dari perusahaan tersebut dengan menggunakan teknologi yang tepat.

“Ini semua diperlukan untuk berinteraksi dengan proses bisnis perusahaan serta proses operasi. Disinilah kami mencoba bekerja dalam hal digitalisasi perusahaan untuk menginformasikan penerapan pembicaraan perusahaan. Dalam perusahaan, keberlanjutan sama pentingnya dengan digitalisasi. Jadi begitulah cara kami melakukannya,” pungkasnya.

Sumber : Detik FInance

Related posts

Indonesia dan Maroko Diskusikan Sinergi Penerapan Fikih Mitigasi

Dirjen Lintas Agama Berbagi Praktik Baik Moderasi Beragama di ICROM 2024

Indonesia, Malaysia, dan Nigeria Teken MoU Kerja Sama Pengelolaan Wakaf