Home » Siklus Kenaikan Suku Bunga ASEAN Diperkirakan Sudah Capai Puncaknya

Siklus Kenaikan Suku Bunga ASEAN Diperkirakan Sudah Capai Puncaknya

by Abyasa Eka
60 views 3 minutes read



JAKARTA – The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) memperkirakan siklus kenaikan suku bunga di wilayah ASEAN sudah mencapai puncaknya.

Perkiraan tersebut didasari oleh tren positif penurunan inflasi umum yang kemungkinan akan terus berlanjut di seluruh wilayah Asia Tenggara meskipun inflasi inti secara umum lebih tinggi.

ICAEW memperkirakan inflasi indeks harga konsumen (IHK) Asia Tenggara mencapai 3,5% di akhir tahun ini, turun dari 4,6% dari tahun 2022. Kemudian, inflasi IHK pada akhir 2024 diperkirakan akan menyusut lagi ke 2,4%.

“Dengan latar belakang ini, bank-bank sentral di kawasan ASEAN kemungkinan telah mencapai puncak siklus kenaikan suku bunga,” tulis ICAEW dikutip dari riset yang diterima TrenAsia, Rabu, 4 Oktober 2023.

Berhubung siklus kenaikan suku bunga di wilayah ASEAN diperkirakan sudah mencapai puncak, ICAEW pun memprediksi bank-bank sentral di wilayah Asia Tenggara akan mulai memangkas suku bunganya.

Akan tetapi, penurunan suku bunga ini kemungkinan masih tertunda karena perlambatan ekonomi Tiongkok yang cepat.

“Pemangkasan suku bunga oleh People’s Bank of China (PBoC) selama beberapa bulan terakhir mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam menstimulasi permintaan di tengah tingginya penghindaran risiko, dan hal ini pada gilirannya dapat memberikan tekanan pada mata uang ASEAN,” tulis ICAEW.

Menurut hasil penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Oxford Economics atas inisiatif ICAEW, diperkirakan akan terjadi perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga meskipun kuartal sebelumnya telah mencatat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang baik.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN-6, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, menunjukkan angka sekitar 3,6% pada paruh kedua tahun 2023, menurun dari 4,2% pada paruh pertama tahun tersebut dan 5,7% pada tahun 2022.

Sementara itu, Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% pada tahun ini, sesuai dengan tren pertumbuhan historis.

Namun, perlu diingat bahwa ada kemungkinan perlambatan ringan hingga mencapai pertumbuhan sekitar 4,7% pada tahun berikutnya, tergantung pada adanya hambatan eksternal yang masih berlanjut, khususnya dampak dari kebijakan ketat moneter yang masih berlanjut.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga termasuk perlambatan pemulihan ekonomi Tiongkok pascapandemi, yang berdampak pada proyeksi pertumbuhan secara keseluruhan.

Selain itu, dampak dari kenaikan suku bunga Federal Reserve AS sebesar 550 basis poin dan pengaruhnya terhadap suku bunga di negara-negara ASEAN juga belum sepenuhnya terasa. Harga semikonduktor yang mengalami penurunan turut memengaruhi ekonomi negara-negara seperti Singapura dan Malaysia.

Tantangan utama yang dihadapi adalah dalam sektor ekspor. Setelah mengalami peningkatan pada awal pandemi, ekspor barang mengalami penurunan signifikan tahun lalu dan masih berlanjut. 

Hal ini disebabkan oleh pergeseran permintaan global dari barang ke jasa. Meskipun perkiraan bahwa permintaan eksternal akan mulai pulih pada paruh kedua tahun ini, ada kepercayaan bahwa permintaan secara keseluruhan akan tetap relatif baik.

Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan menjadi 5,2% secara tahunan pada kuartal kedua dari 5% pada kuartal pertama.

Namun, perbedaan yang signifikan terlihat antara permintaan domestik yang kuat dan permintaan eksternal yang lemah. 

Suku Bunga Indonesia

Indonesia saat ini memiliki suku bunga riil yang tinggi di wilayah Asia Tenggara, dan pengetatan moneter yang berkelanjutan diperkirakan akan memberikan tekanan, terutama pada sektor konstruksi dan pinjaman rumah tangga, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi konsumsi swasta. Ini adalah tantangan besar yang perlu diatasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.

Perlambatan ekonomi global yang diantisipasi pada semester kedua 2023 dan awal 2024 dapat berdampak pada penurunan permintaan terhadap produk Indonesia.

Selain itu, Tiongkok, salah satu tujuan utama ekspor Indonesia, juga menghadapi perlambatan pertumbuhan, yang dapat menjadi hambatan tambahan. Meskipun begitu, sektor jasa, terutama pariwisata, diharapkan dapat menjadi penopang bagi total ekspor.

Meskipun terjadi peningkatan inflasi IHK sebesar 3,3% YoY pada Agustus, yang naik dari 3,1% pada Juli, namun angka ini masih berada dalam kisaran target bank sentral.

Hal ini memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, pemerintah dan pelaku ekonomi di Indonesia dinilai ICAEW perlu tetap responsif terhadap perubahan dalam dinamika ekonomi global.

Source : Tren Asia

You may also like