Home » China Buat Ekonomi ASEAN Tenggelam, Cuma RI & Kamboja Selamat

China Buat Ekonomi ASEAN Tenggelam, Cuma RI & Kamboja Selamat

by Maharani Putri
76 views 7 minutes read



Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Dunia kembali membawa kabar menyeramkan bagi kawasan Asia, Kali ini kabar tak menyenangkan untuk negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik yang diperkirakan ekonominya akan lesu imbas China.

Pertumbuhan ekonomi China memang kerap disorot belakangan ini, dan tak main-main, lesunya permintaan China dan global di tengah masih tingginya suku bunga dan lemahnya perdagangan mampu memangkas perekonomian di kawasan tersebut.

Bank Dunia memperkirakan negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik akan tumbuh sebesar 5% pada tahun 2023, angka tersebut sedikit lebih rendah dari perkiraan pada bulan April sebesar 5,1%.

Untuk tahun 2024, bank multilateral yang berbasis di Washington ini memperkirakan pertumbuhan kawasan sebesar 4,5%, turun dari perkiraan pada bulan April sebesar 4,8%.

China, Sang Biang Kerok Lemahnya Ekonomi Kawasan

China menjadi penyumbang terbesar penyebab perlambatan tersebut. Ekonomi terbesar kedua di dunia ini kemungkinan akan tumbuh 4,4% tahun depan, turun dari 4,8% yang diproyeksikan sebelumnya, di tengah krisis properti, peningkatan utang, dan dorongan yang memudar dari pembukaan kembali pasca-Covid. Perkiraan PDB 2023 untuk China dipertahankan pada 5,1%.

“Meskipun faktor-faktor dalam negeri cenderung menjadi pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan di China, faktor-faktor eksternal akan mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap pertumbuhan di sebagian besar negara-negara lain di kawasan ini,” kata Bank Dunia.

Sementara, pertumbuhan di wilayah lain diperkirakan akan meningkat menjadi 4,7% pada 2024, karena pemulihan pertumbuhan global dan pelonggaran kondisi keuangan mengimbangi dampak dari melambatnya pertumbuhan di China dan langkah-langkah kebijakan perdagangan di negara lain.

Pertumbuhan ekonomi China melambat seiring dengan upaya para pengambil kebijakan untuk memperbaiki penurunan pasar properti, dengan fokus permasalahan pada pengembang besar Country Garden. Kekhawatiran semakin meningkat mengenai apakah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini sedang mendekati titik krisis.

China telah mengumumkan serangkaian langkah dalam beberapa bulan terakhir untuk menopang pertumbuhan, dengan pelonggaran beberapa aturan pinjaman pada minggu lalu oleh bank sentral dan regulator keuangan utama untuk membantu pembeli rumah.

Laporan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua  2023 dari Biro Pusat Statistik China menunjukkan ekonomi China hanya bertumbuh 0,8% pada April-Juni 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,3%.

Berbeda dengan konsumen di negara-negara Barat, sebagian besar masyarakat China harus mengurus diri mereka sendiri selama pandemi Covid-19 dan belanja balas dendam yang diharapkan oleh beberapa ekonom setelah China dibuka kembali tidak pernah terjadi.

Selain itu, permintaan ekspor China telah melemah karena mitra dagang utama mereka sedang bergulat dengan kenaikan biaya hidup.

Dan dengan 70% kekayaan rumah tangga China terikat pada sektor real estate, perlambatan besar di sektor ini juga berdampak pada sektor perekonomian lainnya.

Peringatan mengenai perekonomian muncul selama krisis keuangan global pada tahun 2008-2009 dan selama ketakutan arus keluar modal pada tahun 2015. China kemudian memulihkan kepercayaannya dengan meningkatkan investasi infrastruktur dan mendorong spekulasi pasar properti, serta langkah-langkah lainnya.

Konsumsi rumah tangga, dalam persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), termasuk yang terendah di dunia bahkan sebelum adanya Covid-19. Para ekonom mengidentifikasi hal ini sebagai ketidakseimbangan struktural utama dalam perekonomian yang terlalu bergantung pada investasi berbahan bakar utang.

Para ekonom menyalahkan lemahnya permintaan domestik sebagai penyebab melemahnya minat investasi di sektor swasta dan menyebabkan China mengalami deflasi pada bulan Juli. Jika hal ini terus berlanjut, deflasi dapat memperburuk perlambatan ekonomi dan memperparah masalah utang.

Ketidakseimbangan antara konsumsi dan investasi lebih parah dibandingkan Jepang sebelum memasuki “dekade yang hilang” yaitu stagnasi pada tahun 1990an.

Beberapa bulan belakangan, PMI Manufaktur China terus tertekan. Kendati demikian, aktivitas pabrik di China meningkat untuk pertama kalinya dalam enam bulan pada bulan September, sebuah survei resmi menunjukkan pada hari Sabtu, menambah serangkaian indikator yang menunjukkan bahwa ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut telah mulai mencapai titik terendahnya.

Indeks manajer pembelian (PMI), berdasarkan survei terhadap produsen besar, naik menjadi 50,2 pada bulan September dari 49,7, menurut Biro Statistik Nasional, naik di atas level 50 poin yang membatasi kontraksi aktivitas dan ekspansi. Angka tersebut mengalahkan perkiraan 50,0.

PMI, yang merupakan statistik resmi pertama untuk bulan September, menambah tanda-tanda stabilisasi perekonomian, yang sempat merosot setelah ledakan momentum awal di awal tahun ketika kebijakan ultra-restriktif terhadap Covid-19 di China dicabut.

Tanda-tanda awal perbaikan telah terlihat pada bulan Agustus, dengan peningkatan produksi pabrik dan pertumbuhan penjualan ritel sementara penurunan ekspor dan impor menyempit dan tekanan deflasi berkurang. Laba perusahaan industri membukukan lonjakan mengejutkan sebesar 17,2% di bulan Agustus, membalikkan penurunan sebesar 6,7% di bulan Juli.

PMI non-manufaktur China, yang mencakup sub-indeks untuk aktivitas sektor jasa dan konstruksi, juga meningkat, yaitu 51,7 dibandingkan 51,0 pada bulan Agustus. PMI gabungan, termasuk aktivitas manufaktur dan non-manufaktur, naik menjadi 52,0 pada bulan September dari 51,3. Setidaknya hal ini menjadi sinyal yang baik agar ekonomi China tidak tertekan terlalu dalam.

ekspor dilaporkan turun 8,8% pada bulan Agustus secara year-on-year (yoy), angka ini mengalahkan perkiraan sebesar 9,2% dalam jajak pendapat Reuters dan turun dari penurunan 14,5% pada Juli.

Sementara itu, impor mengalami kontraksi sebesar 7,3%, lebih lambat dari perkiraan penurunan sebesar 9,0% dan penurunan bulan lalu sebesar 12,4%.

Ekspor dan impor China terus mengalami penurunan di bulan Agustus karena dua tekanan yakni karena menurunnya permintaan luar negeri dan lemahnya belanja konsumen di dalam negeri yang menekan dunia usaha di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut, meskipun penurunan tersebut lebih lambat dari perkiraan.

Waspada! Ekonomi Kawasan Asia Timur & Pasifik Bisa Lesu Karena Ini

Meskipun sebagian besar perekonomian Asia Timur telah pulih dari serangkaian guncangan sejak tahun 2020, termasuk pandemi Covid-19 dan akan terus tumbuh, namun kini Bank Dunia mengatakan laju pertumbuhan kemungkinan akan melambat.

Lihat saja, pada laporannya, Bank Dunia melakukan perubahan foercast untuk pertumbuhan kawasan Asia Pasifik. Bank Dunia merevisi ke bawah proyeksi untuk seluruh negara ASEAN. Hanya Indonesia dan Kamboja yang direvisi naik.
Vietnam menjadi negara yang paling terpukul karena melambatnya ekonomi China karena besarnya eksposure ekonomi Vietnam terhadap Beijing. Thailand juga terimbas besar karena tingginya kontribusi wisatawan China ke negara tersebut.

Dalam daftar tersebut, Vietnam diramal bakal terpukul untuk tahun 2023 ini. Pertumbuhan ekonominya di revisi dari 6,3% menjadi 4,7% tahun ini dan untuk tahun 2024 di revisi menjadi 5,5% dari 6,5% pada forecast April 2023.

Selain Vietnam, ada pula Malaysia yang ekonominya diperkirakan melambat. Proyeksi PDB direvisi dari 4,3% tahun 2023 menjadi 3,9% pada forecast Oktober ini. Sementara untuk tahun 2024 ekonomi Malaysia akan tumbuh menjadi 4,3%, naik dari forecast April 2023 lalu yang hanya diperkirakan 4,2%.

Dari Indonesia sendiri, ekonomi diramal tangguh. Sebelumnya Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi Tanah Air ini bakal tumbuh 4,9% tahun 2023, namun dalam laporan terbaru ekonomi RI direvisi naik mencapai 5% tahun ini. Sementara tahun 2024, Indonesia diramal bakal tumbuh 4,9%.|

Menurut perhitungan Bank Dunia, peningkatan utang pemerintah terhadap PDB sebesar 10 poin persentase dikaitkan dengan penurunan pertumbuhan investasi sebesar 1,2 poin persentase. Demikian pula, peningkatan utang swasta terhadap PDB sebesar 10 poin persentase dikaitkan dengan penurunan pertumbuhan investasi sebesar 1,1 poin persentase.

Bank juga mencatat tingkat utang rumah tangga yang relatif tinggi di China, Malaysia dan Thailand dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Utang rumah tangga yang tinggi dapat berdampak negatif pada konsumsi, karena lebih banyak pendapatan akan digunakan untuk melunasi utang, sehingga dapat menyebabkan pengurangan pengeluaran.

Kedua, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan kemungkinan terjadinya bencana alam, termasuk peristiwa cuaca ekstrem, merupakan risiko-risiko negatif tambahan terhadap prospek perekonomian kawasan.

“Kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat dan paling dinamis di dunia, meskipun pertumbuhannya sedang,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Manuela V. Ferro yang dikutip dari catatan Bank Dunia.

“Dalam jangka menengah, mempertahankan pertumbuhan yang tinggi memerlukan reformasi untuk mempertahankan daya saing industri, mendiversifikasi mitra dagang, dan membuka potensi peningkatan produktivitas dan penciptaan lapangan kerja di sektor jasa.” tambahnya.

Sektor jasa juga telah menjadi kontributor utama terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja agregat selama dekade terakhir. Ekspor jasa tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor barang. Dan pertumbuhan investasi asing langsung di bidang jasa telah melebihi pertumbuhan di bidang manufaktur sebesar lima kali lipat di China, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Difusi teknologi digital dan reformasi layanan meningkatkan kinerja perekonomian. Di Filipina, penerapan perangkat lunak dan analisis data oleh perusahaan meningkatkan produktivitas perusahaan rata-rata sebesar 1,5% selama periode 2010-2019.

Di Vietnam, pengurangan hambatan kebijakan seperti pembatasan masuknya orang asing dan kepemilikan di bidang transportasi, keuangan, dan jasa bisnis menyebabkan peningkatan nilai tambah per pekerja di sektor-sektor ini secara tahunan sebesar 2,9% selama periode 2008-2016.

Penghapusan hambatan-hambatan tersebut juga menyebabkan peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 3,1% di perusahaan manufaktur yang menggunakan jasa-jasa tersebut, sehingga memberikan manfaat yang paling signifikan bagi usaha kecil dan menengah.

Kombinasi reformasi layanan dan digitalisasi tidak hanya menciptakan peluang baru, namun juga meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Misalnya, pendidikan jarak jauh dan telemedis yang didukung oleh staf lokal yang terpilih, terlatih, dan termotivasi telah menghasilkan pembelajaran dan hasil kesehatan yang lebih baik di wilayah ini, meskipun masih terdapat ketimpangan akses yang signifikan.

“Reformasi jasa dan digitalisasi dapat menghasilkan siklus yang baik dalam meningkatkan peluang ekonomi dan meningkatkan kapasitas manusia, sehingga mendorong pembangunan di kawasan ini,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo.

Source : CNBC Indonesia

You may also like