ASEAN mulanya terbentuk pada tahun 1967 dengan tujuan untuk mengejar stabilitas dan keamanan regional melalui kerja sama negara anggotanya.
Dalam proses pembentukan kebijakannya, ASEAN menjunjung prinsip ‘ASEAN Way’ yang memiliki karakteristik sebagai institusi yang mengedepankan metode konsensus, informalitas, dan non-konfrontasi.
Pendekatan yang fleksibel ini kemudian memungkinkan ASEAN untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi negara anggotanya dalam pembahasan topik dan juga kecepatan dari implementasi kebijakan mereka. Meskipun metode ini acap kali membuat proses pembentukan kebijakan menjadi lambat, namun kebijakan yang tercipta akan mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara anggota ASEAN.
Titik krusial dalam perubahan institusi ASEAN terjadi pada masa Krisis Finansial Asia tahun 1997. Krisis tersebut menyadarkan ASEAN akan pentingnya membentuk suatu integrasi finansial, terlebih lagi dengan munculnya kompetisi menarik investasi asing dari negara seperti India dan Tiongkok.
Kendati telah ada usaha menuju integrasi ekonomi regional pada tahun 1990-an seperti penghilangan tarif perdagangan dan liberalisasi perdagangan, tetapi keseriusan ASEAN baru terlihat dengan dibentuknya ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2003. Pembentukan AEC ini memiliki misi untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, meningkatkan pembangunan ekonomi yang merata, serta memfasilitasi integrasi ke dalam ekonomi global.
Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
Namun, integrasi ekonomi di ASEAN masih kerap menghadapi tantangan. ASEAN tidak memiliki perjanjian yang mengikat secara hukum maupun otoritas supranasional yang dapat memastikan berjalannya perjanjian ASEAN. Oleh karena itu, AEC sendiri bergantung pada preferensi dari masing-masing negara anggota ASEAN untuk mengubah kebijakan domestik mereka.
Dalam hal ini, semua negara anggota memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing yang terkadang menyulitkan terciptanya konsensus dalam proses pembuatan kebijakan ASEAN. Sulitnya realisasi menuju integrasi ekonomi membuat ASEAN mendorong langkah alternatif dalam membangun kerja sama ekonomi yang bernama ‘ASEAN minus X’ atau ASEAN-X.
Metode ASEAN minus X merupakan pelaksanaan kerja sama ekonomi antara dua atau lebih negara anggota ASEAN sehingga mereka dapat menjalankan kebijakan ekonomi ASEAN terlebih dahulu, jika negara anggota lain belum siap untuk menerapkan perjanjian tersebut.
Konsep ASEAN minus X pun akhirnya diakui dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tahun 2003 sebagai pendekatan alternatif dalam kerja sama di ASEAN. Dalam Piagam ASEAN tahun 2007, ASEAN minus X juga dipandang sebagai metode fleksibel yang bisa digunakan oleh negara anggota ASEAN dalam melaksanakan komitmen perjanjian ekonomi mereka.
Penggunaan dari metode ASEAN minus X sendiri memerlukan adanya kesepakatan dari semua negara anggota ASEAN akan pengimplementasian suatu kebijakan ekonomi. Namun, metode ini juga memungkinkan negara anggota ASEAN lainnya untuk ikut serta dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut sesuai dengan preferensi dan kesiapan mereka.
Kendati dinilai sebagai langkah alternatif, implementasi dari metode ASEAN minus X sejauh ini masih sangat sedikit. Dalam ASEAN, hanya terdapat dua perjanjian ASEAN minus X dan keduanya dilaksanakan oleh Singapura.
Perjanjian pertama merupakan kesepakatan antara Singapura dan Laos pada tahun 2005 dalam melaksanakan pertukaran jasa di bidang edukasi. Setelah itu, Singapura dan Brunei Darussalam menyepakati perjanjian dalam melaksanakan liberalisasi perdagangan di bidang telekomunikasi dan mereduksi tarif komunikasi di antara mereka pada tahun 2014.
Melalui metode ASEAN minus X ini, beberapa negara anggota ASEAN dapat berjalan menuju integrasi ekonomi regional tanpa terhalang dengan lambatnya negara anggota ASEAN lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Namun, apabila menilik lebih dalam, terdapat beberapa alasan yang membuat metode kerja sama ini belum berjalan secara intensif.
Salah satunya terletak pada aspek fundamental dari ASEAN sendiri dalam proses pembuatan kebijakannya yang berdasarkan konsensus. Mengingat ASEAN minus X bergantung pada terbentuknya dahulu kesepakatan dalam ASEAN mengenai kebijakan tertentu, maka menjadi lambat pula metode dari ASEAN minus X ini untuk terealisasi.
ASEAN yang berbentuk institusi loose membuat masing-masing negara anggota saling mengejar kepentingan mereka dan memperlambat keputusan terbentuk secara konsensus. Sebagai kesimpulan, metode ASEAN minus X tetap menjadi alternatif penting untuk partisipasi yang fleksibel dalam pelaksanaan komitmen ekonomi ASEAN dengan mengizinkan negara-negara anggota yang belum siap untuk menunda pelaksanaan komitmen yang telah mereka sepakati.
Akan tetapi, perlu ada peninjauan lebih lanjut seperti batasan waktu yang jelas dalam proses penundaan dan menggali potensi ASEAN minus X sebagai cara alternatif dalam pengambilan keputusan, khususnya di bidang ekonomi.