Home » ASEAN Concord IV Terlalu Fokus Hal Praktis

ASEAN Concord IV Terlalu Fokus Hal Praktis

by Farah Lestari
13 views 4 minutes read


Keketuaan Indonesia pada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN tahun 2023 memang dinilai kalah apabila dibandingkan dengan pengalaman Jakarta sebelumnya. Meski demikian, keketuaan Indonesia tetap lebih baik dibandingkan negara lain.

Hal ini menjadi pembahasan di dalam diskusi ”ASEAN Concord IV: Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN” pada Rabu (6/12/2023) di Jakarta. Acara itu diadakan The Habibie Centre yang bekerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

”Berkaca kemampuan Indonesia menghasilkan Bali Concord I (1976), Bali Concord II (2003), dan Bali Concord III (2011), hasil Bali Concord IV atau yang juga disebut ASEAN Concord IV ini kurang menyentuh hal-hal intelektual dan konseptual,” kata dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Internasional Indonesia, Faisal Karim.

Ia menjelaskan, ASEAN Concord IV fokus kepada hal-hal praktis, terutama di sektor kerja sama ekonomi dan kelautan. Ini jauh berbeda dari Bali Concord I yang menghasilkan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC), landasan segala penandatanganan hubungan negara lain dengan ASEAN; Bali Concord II mengenai pengembangan masyarakat ASEAN berlandaskan politik, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya; serta Bali Concord III mengenai penguatan posisi ASEAN di tengah berbagai tantangan geopolitik.

”Tahun ini, ASEAN Concord IV sangat berat ke ekonomi dan investasi. Ini terlihat dari penetapan Pandangan Indo-Pasifik ASEAN (AOIP) yang membahas pentingnya berbagai proyek ekonomi untuk mengelola persaingan geopolitik Amerika Serikat dan China agar memberi keuntungan bagi kawasan Asia Tenggara,” ujar Faisal.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Internasional Indonesia, Faisal Karim, dalam diskusi "Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN" pada Rabu (6/12/2023) di Jakarta.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWARDosen Hubungan Internasional Universitas Islam Internasional Indonesia, Faisal Karim, dalam diskusi “Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN” pada Rabu (6/12/2023) di Jakarta.

Meningkatnya persaingan geopolitik membuat ASEAN terjebak di tengah. Kali ini, dunia kurang mempercayai pengaruh normatif ASEAN.

Negara-negara adidaya menunjukkan sikap menginginkan keberpihakan yang nyata terhadap salah satu dari mereka untuk melawan kubu lain. ASEAN, layaknya kekuatan menengah, berusaha bermanuver agar tidak terseret arus AS ataupun China karena keduanya sama-sama mitra penting.

Sebagai jalan keluar, ASEAN mengeluarkan AOIP. Menurut Faisal, konsep ini adalah upaya Indonesia untuk mengubah narasi persaingan geopolitik AS-China agar tidak fokus kepada adidaya, tetapi kepada kesejahteraan bersama di Asia Tenggara.

Sejatinya, konsep ini tidak salah, tetapi belum cepat tanggap dalam menyikapi perubahan global. Ke depan, hendaknya ada penyusunan konsep geoekonomi ASEAN karena kini sektor pembangunan dan investasi sangat tergantung dengan keamanan dan kestabilan global.

”Wadah seperti Forum Regional ASEAN dan KTT Asia Timur (EAS) jangan cuma jadi acara arisan, tetapi benar-benar dipakai untuk membahas dan mencari solusi berbagai persoalan di kawasan dengan melibatkan negara-negara mitra ASEAN,” kata Faisal.

Ekonom sekaligus Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Djisman Simandjuntak, mengawasi penerapan AOIP dan Forum Indo-Pasifik ASEAN (AIPF) dengan skeptis. Pasalnya, hingga kini belum terlihat wujud jelas kerja sama ekonomi yang akan diterapkan.

Selain itu, ia juga melihat penurunan AOIP dan AIPF ini sangat tergantung kepada keaktifan setiap anggota ASEAN untuk mempromosikan diri sendiri kepada calon penanam modal dibandingkan memiliki konsep pembangunan ASEAN yang menyeluruh.

Rektor Universitas Prasetiya Mulya sekaligus ekonom Djisman Simandjuntak (kanan) memberikan paparan dalam diskusi "Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN" pada Rabu (6/12/2023) di Jakarta.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWARRektor Universitas Prasetiya Mulya sekaligus ekonom Djisman Simandjuntak (kanan) memberikan paparan dalam diskusi “Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN” pada Rabu (6/12/2023) di Jakarta.

Menurut Djisman, agar bisa memperkuat perekonomian kawasan, perdagangan dan investasi intra-ASEAN harus digenjot. Hingga kini, sektor tersebut tidak pernah bisa melampaui 25 persen.

Para anggota ASEAN lebih memilih berniaga dengan China, Jepang, dan Korea Selatan dibandingkan dengan sesama. Penguatan perdagangan intra-ASEAN ini memerlukan inisiatif para anggota, bahkan jika perlu saling berinvestasi, termasuk untuk kelembagaan ASEAN.

Penguatan penguasaan teknologi canggih juga penting. ASEAN selama ini terlibat dalam produksi semikonduktor, tetapi hanya di proses manufaktur. ASEAN harus bisa meningkatkan daya tawar dan ikut merancang serta memprogram teknologi tersebut apabila ingin ekonominya berkembang sesuai pembangunan global.

”Sentralitas ASEAN selalu penting guna menjaga keajekan di tengah para tetangga yang tidak rukun. Hanya, ASEAN harus meningkatkan kemampuannya agar bisa aktif mengambil keputusan untuk kawasan. Zaman sekarang, sumber daya manusia, kecakapan penguasaan teknologi, keterbukaan lowongan kerja, dan kemampuan mengembangkan industri strategis seperti transisi energi dan pengolahan mineral kritis menjadi penentu kualitas diri ASEAN,” tutur Djisman.

ASEAN, lanjutnya, membutuhkan perencanaan ulang untuk memperkuat identitas kawasan agar tidak kalah oleh identitas nasional masing-masing. Selain itu, ASEAN juga harus membangun kesadaran sebagai bagian tidak terpisahkan dari Benua Asia guna membangun mental kerja sama penelitian, pengembangan, dan inovasi dengan negara-negara lain.

Myanmar dan LCS

Sementara itu, peneliti ASEAN dari THC Marina Ika Sari memaparkan, persoalan Myanmar dan Laut China Selatan merupakan tantangan terberat ASEAN. Isu Myanmar sulit ditanggulangi karena konflik internal memang tidak bisa diselesaikan oleh pihak luar.

Ketua Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Mayling Oey-Gardiner membuka acara diskusi "Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN" di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWARKetua Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Mayling Oey-Gardiner membuka acara diskusi “Meninjau Tonggak Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN” di Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Indonesia menerapkan diplomasi senyap melalui pendirian Kantor Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Kantor ini sudah melakukan 180 rapat dengan para pemangku kepentingan di Myanmar, kecuali junta militer yang menolak berhubungan dengan ASEAN.

”Isu Myanmar ini memang tidak bisa dituntaskan dalam 1-2 tahun. ASEAN memutuskan di tahun 2026 keketuaan Myanmar dilewati dan digantikan oleh Filipina. Ini sikap yang tegas. Soal penyelesaian konflik, hanya para pemangku kepentingan di Myanmar yang bisa melakukan. ASEAN memberi wadah,” ujarnya.

Dari persoalan Laut China Selatan, Marina mengkritisi bungkamnya ASEAN ketika China mengeluarkan peta terbaru pada 28 Agustus 2023, hanya sepekan sebelum KTT ASEAN. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam secara individual mengeluarkan protes terhadap peta China yang memasukkan Sepuluh Garis Putus-Putus guna mengklaim sepihak Laut China Selatan. Akan tetapi, protes dari lembaga ASEAN yang solid tidak ada.

Sumber : Kompas

You may also like