KOMPAS.com – Ada banyak isu terkait diplomasi iklim dan energi negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang belum menyentuh masyarakat. Padahal iklim dan energi memiliki dampak langsung sekaligus besar kepada kehidupan masyarakat. Hal tersebut disampaikan Manajer Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR) Wira Swadana dalam diskusi publik bertajuk “Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Front-runner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi” yang digelar secara daring pada Jumat (20/10/2023). Kementerian PUPR Dorong Daur Ulang Air, Sampah, dan Energi di Rest Area Jalan Tol Dari hasil keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, ada beberapa peningkatan ambisi dan implementasi iklim dan energi yang telah dilakukan.
Namun, Indonesia dinilai masih terlalu fokus membangung infrastruktur yang belum terbukti seperti penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture utilization storage (CCUS). Contoh lainnya adalah fokus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik tetapi belum fokus pada prinsip-prinsip mobilitas berkelanjutan. Menurut Wira, Indonesia dan negara-negara ASEAN harus berfokus pada aksi dan kerja sama yang lebih tegas seperti pembangunan ekosistem pengembangan energi terbarukan.
“Dan fokus terhadap praktik-praktik penembangan mineral transisi atau kritikal yang berkeadilan dan bertanggung jawab,” ujar Wira sebagaimana dilansir dari siaran pers IESR. Baca juga: Perusahaan Ini Segera Luncurkan PLTS Raksasa Mengorbit Bumi, Panen Energi Matahari dari Antariksa Di sisi lain, menurut Climate Action Tracker (CAT), pada 2022 Indonesia dinilai tidak memiliki ambisi iklim yang kuat dengan status “Sangat Tidak Memadai” jika ditilik dari target Nationally Determined Contribution (NDC).
Salah satu penyebab rendahnya nilai Indonesia dalam penilaian tersebut adalah tidak konsistennya strategi di sektor energi. Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2023 PT PLN, persentase bauran batu bara justru akan meningkat dari 62 persen pada 2025 menjadi 64 persen pada 2030. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tengah mengembangkan kerangka regulasi terkait CCUS dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat teknologi tersebut di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR Arief Rosadi menyampaikan, selain Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam uga dinilai tidak memiliki ambisi iklim yang memadai berdasarkan penilaian CAT. Baca juga: Ekosistem Energi Terbarukan Perlu Masuk RPJPN dan RPJMN Dia menyampaikan, negara ASEAN perlu meningkatkan ambisi iklimnya, salah satunya dengan menurunkan emisi secara signifikan di sektor energi. Selain itu, perlu juga untuk merefleksikan peningkatan ambisi iklim pada dokumen perencanaan energi regional terbaru atau ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC).
Menurut Arief, ada empat kesenjangan yang harus diselesaikan yakni kesenjangan kelembagaan, ambisi iklim, implementasi, dan partisipasi. Kesenjangan kelembagaan ASEAN, ucap Arief, tercermin pada kelembagaan isu energi dan iklim yang masih terpisah-pisah. “Misalnya pengaturan bidang yang tidak dalam kerangka yang sama, contohnya isu energi yang berada di bawah pilar ekonomi ASEAN, sementara isu iklim di bawah pilar sosial budaya ASEAN,” ujar Arief. Baca juga: Petrokimia Gresik Dukung Pengembangan Energi Bersih Tanah Air Dia meyampaikan,ASEAN perlu memetakan peran dan tanggung jawab kelembagaan secara komprehensif agar pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan regional menjadi efektif dan efisien.
Sedangkan untuk kesenjangan ambisi iklim, keinginan ASEAN disebut belum selaras dengan Persetujuan Paris. Sementara itu, dalam kesenjangan implementasi, transisi energi dinilai masih terkendala faktor politis dan teknis dengan pemberian ruang bagi teknologi yang belum teruji. Untuk kesenjangan partisipasi, keterlibatan masyarakat sipil sampai saat ini masih terbatas. Keempat kesenjangan ini menurut Arief perlu dibenahi secara internal di ASEAN. Baca juga: Ternyata, Begini Cara Mengetahui AC Hemat Energi “Indonesia mempunyai peran strategis, mengingat profilnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki pengaruh politik signifikan di ASEAN,” ucap Arief. “Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya dalam mendorong agenda transisi energi terus berlanjut sebagai pembahasan utama dalam keketuaan Laos di ASEAN di 2024,” sambungnya.
IESR mendorong agar Indonesia memperkuat strategi diplomasi iklimnya dengan melakukan sinkronisasi komprehensif terhadap berbagai forum multilateral. Hal tersebut agar ASEAN mampu menghasilkan hasil dan kerja sama yang nyata dalam hal teknis, investasi energi bersih, atau mobilisasi pendanaan bagi Indonesia dan ASEAN.
Sumber : Kompas